A.
Hukum
dalam Arti Tata Hukum
1.
Pengertian
Tata Hukum
Jika kita berbicara
hukum, maka hukum dalam bahasa Inggris “Law”,
Belanda “Recht”, Jerman “Recht”, Italia
“Dirito”, Perancis “Droit”. Hukum hidup
dalam pergaulan hidup manusia, seperti kita
lihat cerita Robinson Croese yang
terdampar di sebuah pulau dimana ia hidup
sendiri dan ia dapat berbuat sesuka
hatinya tanpa ada yang menghalanginya. Ia tidak
butuh hukum, artinya hukum
itu baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup.
Dimana fungsinya adalah
memperoleh ketertiban dalam hubungan antar
manusia. Menjaga jangan
sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain
untuk melakukan sesuatu yang
tidak kehendaknya, dan lain-lain.
Tetapi ada faktor lain
selain tata tertib yang terdapat pada hukum yaitu
keadilan, suatu sifat khas pada hukum yang tidak
terdapat pada ketentuanketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata
tertib. Jadi hukum itu
berkenaan dengan kehidupan manusia, ialah
manusia dalam hubungan antar
manusia untuk mencapai tata tertib didalamnya
berdasarkan keadilan.
Dalam hubungan Hukum dan
Negara, baik hukum maupun negara
muncul dari kehidupan manusia karena keinginan
bathinnya untuk
memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal
itu mengingat tujuan negara
adalah menjaga dan memelihara tata tertib.
Di Negara Indonesia
seperti kita ketahui bahwa tata hukum di
Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di
Indonesia (Ius Constitutum),
berlaku disini berarti yang memberikan akibat
hukum pada peristiwa-peristiwa Diktat PHI (Sejarah Hukum)
dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah
menunjukkan kepada
pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan
pergaulan hidup masa
lampau, di Indonesia menunjukkan kepada
pergaulan hidup yang terdapat
pada Republik Indonesia dan bukan negara lain.
Tata hukum disebut juga
Hukum Positif atau Ius Constitutum, sedang
hukum yang dicita-citakan adalah
Ius constituendum.
2. Sejarah Tata Hukum Indonesia
peraturan
perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia
sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping
peraturan tersebut juga terdapat
peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia
Belanda dan bala tentara jepang
yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu
dalam pembahasan Tata
Hukum Indonesia tidaklah dapat lepas dari
pembahasan sejarah Perkembngan
Tata Hukum Indonesia sejak kekuasaan Vereenigde
Oost Indische Compagnie
(VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan
Penjajahan balatentara
Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat
sejarah perkembangan Tata Hukum
Indonesia.
a. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para
pedagang orang Belanda tahun 1602
maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara
para pedagang yang
membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan
tujuan untuk
mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa.
Sebagai kompeni
dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan
hak-hak istimewa (octrooi)
seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan,
hak membentuk angkatan
perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan
perang, mengadakan
perdamain dan hak mencetak uang.Diktat PHI
(Sejarah Hukum) 3
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda
memberikan
wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith
untuk membuat peraturan
dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus
disesuaikan dengan
kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang
dikuasainya,
disamping ia dapat memutuskan perkara perdata
dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui
“plakat”.
Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun
secara sistimatis dan
diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia”
(statuta batavia) dan pada
tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe
Bataviase Statuten” (statuta
Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku
diseluruh daerah-daerah
kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan
aturan-aturan hukum
lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri
dari orang-orang Pribumi dan
Orang-Orang pendatang dari luar.
b. Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya
kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977
dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada
Tanggal 1 Januari 1800,
hingga masuk pemerintahan jepang, banyak
peraturan-peraturan
perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintahan Hindia
Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman
Hindia belanda
adalah:
1) Algemene Bepalingen
van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April
1847 termuat dalam Stb
1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat
beberapa peraturan
lain yang juga diberlakukan antara lain:
a) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO)
atau peraturan organisasi
Pengadilan.
b) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-Undang Hukum
Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)Diktat PHI (Sejarah
Hukum) 4
c) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab
Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD)
d) Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering
(RV) atau peraturan tentang
Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di
Hindia Belnda sejak
tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.
2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada
tanggal 2 September 1854,
yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa
berlakunya R.R.
selain tetap memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang ada
juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau
peraturan ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23
Juli 1925 R.R. diubah
menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No.
415, yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Janiari 1926.
c. Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah
Undang-Undang No.1 tahun 1942
(Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya
kembali semua peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda selama
tidak bertentangan dengan
kekuasaan Jepang.
3. Politik Hukum
Berlakunya hukum dalam
suatu negara ditentukan oleh Politik hukum
negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan
hukum masyarakat dalam
negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan politik hukum
hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti
Politik Hukum. Arti Politik
Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk
memberikan wujud
sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat
pula dilihat pendapat Padmo Diktat PHI (Sejarah Hukum) 5
Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan
dasar yang menentukan
arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk.
Oleh karena itu
berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum
memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum
dengan berusaha
membuat suatu ius constituendum menjadi ius
constitutum atau sebagai penganti ius
constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat.
Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn
ilmu politik, sebab
ilmu politik memiliki pengertian
menyelidiki sampai seberapa jauh batas
realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita
sosial dan kemungkinan apa yang
dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan
yang baik dari cita-cita sosial
itu.
Politik hukum suatu
negara biasanya dicantumkan dalam UndangUndang Dasarnya tetapi dapat pula
diatur dalam peraturan-peraturan lainnya.
Politik Hukum dilaksanakan melalui dua segi,
yaitu dengan bentuk hukum dan
corak hukum tertentu.
Bentuk hukum itu dapat:
(1) Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang
ditulis dalam suatu UndangUndang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam
bentuk tertulis ada dua
macam yaitu:
(a) Kodifikasi ialah disusunnya
ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah
kitab secara sistematik dan teratur.
(b) Tidak dikodifikasikan ialah sebagai
undang-undang saja.
(2) Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum
yang berlaku sebagai hukum yang
semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum
kebiasaan.
Corak hukum dapat ditempuh dengan:
(1) Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum
bagi setiap orang dalam
kesatuan kelompok sosial atau suatu
negara.Diktat PHI (Sejarah Hukum) 6
(2) Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum
bagi dua kelompok sosial
yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau
suatu negara.
(3) Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam
sistem hukum bagi
kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam
kesatuan kelompok
sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan
arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut
ini dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia.
Keberadaan Hukum di Indonesia
sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah
dipengaruhi oleh keberadaan
sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih
banyaknya undang-undang yang
dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang
masih berlaku. Selain itu,
masuknya hukum Islam juga mempengaruhi hukum di
Indonesia, sebagian
permasalahan-permasalahan perdata masih
menggunakan hukum Islam.
Oleh karen itu, perlu diketahui terlebih dahulu
bagaimana politik
Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami
bagaimana Politik Hukum
Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia
Belanda dapat dilihat
berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda
(sebagaimana dijelaskan
diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan
IS.
Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (A.B)
Pada masa berlakunya AB politik hukum
Pemerinthan penjajahan
Hindia belanda dapat dilihat dalam
pembagian golongan dan berlakunya
hukum bagi masing-masing golongan tersebut.
Pemerintahan Hindia Belanda
berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua
golongan, pasal ini menyatakan
bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam
Golongan Eropa
(berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan
Pribumi (berserta mereka
yang dipersamakan dengannya).
Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing
golongan tersebut
diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal
11 AB. Adapun yang diatur didalam Diktat PHI (Sejarah Hukum) 7
kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan
merupakan bunyi pasal
melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum
perdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum dagang (yang diberlakukan di
hindia belanda) hanya
akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka
yang dipersamakan
dengannya”.
Pasal 11 AB
“Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk
pribumi oleh hakim akan
diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan
kebiasaan orang-orang pribumi
itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan
kebiasaan itu tidak berlawanan dengan
asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui
umum dan pula apabila
terhadap orang-orang pribumi itu sendiri
ditetapkan berlakunya hukum eropa
atau orang pribumi yang bersangkutan telah
menundukan diri pada hukum
eropa”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka
pemerintah penjajahan
Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan
bentuk hukum tertulis dan
tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis
ada yang dikodifikasikan dan
terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan
Wetboek van Koophandel (WvK);
yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan
lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan
yang tidak tertulis, yaitu
hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang
di luar golongan Eropa.
Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis,
yaitu satu sistem hukum
perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan
satu sistem hukum perdata lain
yang berlaku bagi golongan Indonesia.Diktat PHI
(Sejarah Hukum) 8
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum
perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal
11
AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal
ini disebabkan tidak adanya asas
pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan
pembagian golongan
berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5
hanya menyatakan orang Eropa, orang
Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang
Eropa dan orang yang
disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya
berdasarkan kepada
perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen
selain orang Eropa disamakan
dengan orang Eropa dan yang tidak beragama
Kristen disamakan dengan
orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa bagi setiap orang yang
beragama Kristen yang bukan orang Eropa
kedudukan golongannya sama
dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia
Kristen termasuk orang
yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini
tentunya berlaku juga bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya
yang beragama Kristen
disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi
orang-orang yang tidak
beragama Kristen selain orang Indonesia
dipersamakan kedudukannya dengan
orang bumiputra.
Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang
kepada
GubernurJenderal untuk menetapkan peraturan
pengecualian bagi orang
Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10,
pasal 3 nya Gubernur Jenderal
menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam
lapangan hukum sipil dan
hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan
pidana dan peradilan pada
umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang
lama”. Dengan demikian
berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap
termasuk golongan orang
bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang
Eropa.Diktat PHI (Sejarah Hukum) 9
Masa Regering Reglement (R.R.)
Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur
tentang pelaksanaan
tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu
dicantumkan dalam pasal 75 RR
yang pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11
AB. Sedangkan pembagian
penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja
tidak berdasarkan
perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan
“yang menjajah” dan “yang
dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian
golongan ini dicantumkan dalam
pasal 109 Regerings Reglement. Adapun yang
diatur dalam kedua pasal tersebut
adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal
melainkan kesimpulan dari
bunyi pasal tersebut):
Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB
tetapi orang Pribumi yang
beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi
dan bagi orang Tionghoa,
Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR
“Menyatakan tetap memberlakukan hukum eropa bagi
orang eropa dan
hukum adat bagi golongan lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan
terhadap beberapa pasal
tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal
dengar sebutan RR (baru) dan
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai
1926. Karena itu selama
berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan
Masa Regerings Reglement.
Sedangkan politik hukum dalam pasal 75 RR (baru)
mengalami perubahan asas
terhadal penentuan penghuni menjadi “pendatang”
dan “yang didatangi”.
Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi
tiga golongan, yaitu golongan
Eropa, Indonesia dan Timur Asing.Diktat PHI
(Sejarah Hukum) 10
Masa Indische Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus
berlakunya RR.
Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa
saat berlakunya IS dapat
dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada
Pasal 163 IS mengatur pembagian
golongan, yang pada intinya seluruh isinya
dikutip dari Pasal 109 RR (baru).
Sedangakan Pasal 131 IS mengatur hukum yang
berlaku bagi masing-masing
golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam
kedua pasal tersebut adalah
(dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal
melainkan kesimpulan dari bunyi
pasal tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga
golongan, yakni :
1. Golongan Eropa
2. Golongan Bumi Putera
3. Golongan Timur Asing.
Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :
1. Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di
dalam ordonansi.
2. Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara
belanda yang tinggal di
hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka kemungkinan untuk unifikasi
hukum yakni menghendaki
penundukan bagi golongan bumiputra dan timur
asing untuk tunduk
kepada hukum Eropa.
4. Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi
golongan bumi putera
apabila masyarakat menghendaki demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan
Pasal 163 IS sebenarnya untuk
menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi
masing-masing golongan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS. Diktat
PHI (Sejarah Hukum) 11
Diatas telah dijelaskan politik hukum pada masa
penjajahan belanda,
dibawah ini akan dijelasakan politik hukum
Indonesia setelah merdeka. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka,
setelah Indonesia merdeka
bagaimanakah politik Hukum Indonesia.
Untuk mengetahui keberadaan
politik hukum di Indonesia dapat dianalisa
berdasarkan berlakunya UndangUndang Dasar di Indonesia.
Setelah Indonesia merdekan sebagai bangsa yang
lepas dari penjajahan,
maka sebagai dasar negara dibentuklah UUD 1945
yang mengatur kehidupan
bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang
Dasar yang diberlakukan
sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar
1945 menurut Dekrit
Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan
politik hukum
negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi
ada juga negara yang
mencantumkan politik hukumnya di luar
Undang-Undang Dasar. Bagi negara
yang tidak mencantumkan politik hukumnya di
Undang-Undang Dasar
biasanya mencantumkan di dalam suatu
bentuk ketentuan lain.
UUD 1945 yang berbatang tubuh 37 pasal tidak
mencantumkan
tentang politik hukum negara. Hal ini
berbeda dengan UUDS 1950 yang
mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal
102, yang berbunyi:
“Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana
sipil maupun militer,
hukum acara perdata maupun hukum acara pidana,
susunan dan kekuasaan
pengadilan diatur dalam undang-undang dalam
kitab hukum. Kecuali jika
pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur
beberapa hal dalm
undang-undang sendiri”.
Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah
politik hukum yang dikehendaki
membentuk suatu hukum tertulis yang
dikodifikasi. Tetapi sebagaimana
diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD
1945, maka politik hukum
sebagai mana tercantum di dalam Pasal 102
tersebut tidaklah berlaku. Diktat PHI (Sejarah Hukum) 12
Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik
hukum maka didalam
pelasanaan hukum berlandasakan kepada Pasal II
aturan peralihan UUD 1945.
Di dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945
diatur bahwa “Segala badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar
ini”. Ketentuan Pasal II
aturan peralihan ini bukan merupakan politik
Hukum hanya suatu ketentuan
yang memiliki fungsi untuk mengisi
kekosongan hukum. Fungsinya sama
dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal 192 UUD RIS
yang menyatakan tetap
berlakunya peraturan perundangan hukum dan tata
usaha yang telah berlaku
sebelum berlakunya UUD saat itu.
Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan
kekosongan hukum dapat
diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan hukum
yang berlaku pada jaman
penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum
adanya hukum yang baru.
Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut
dengan asas konkordansi.
Tetapi, walaupun masih ada peraturan hukum
Belanda yang berlaku
setelah menjadi negara merdeka dewasa ini
sebenarnya tidak bertujuan seperti
penjajah Belanda pada zamannya, melainkan hanya
sebagai alasan “jangan
sampai terjadi kekosongan hukum” saja, sebab
kekosongan hukum berarti
tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib
hidup. Hal ini akan sangat
berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya
aturan hukum Belanda walaupun
sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dalam pergaulan hukum
di Indonesia. Karena itu pemerintah terus
berusaha mewujudkan hukum
nasional sebagai penggantinya yang dinyatakan
secara berencana melalui politik
hukumnya dalam haluan negara. Suatu perumusan
politik hukum yang
dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan
dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN).Diktat PHI (Sejarah Hukum)
13
B. Sistem Hukum
Suatu Sistem mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu
terdiri dari komponenkomponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan
dan dalam keutuhan
organisasi yang teratur serta
terintergrasi.
Menurut Prof Subekti system adalah suatu susunan
atau tatanan yang
teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama
lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola,
hasil dari suatu penulisan untuk
mencapai suatu tujuan.
Dalam suatu system tidak boleh terjadi suatu
pertentangan atau benturan
antara bagian-bagian dan juga tidak boleh
terjadi duplikasi atau tumpang tindih
(over lapping).
Sistem dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1. Sistem hukum Eropa Kontinental.
Sistem hukum ini berkembang di negara-negara
Eropa daratan yang sering
disebut sebagai “Civil Law”.
Peraturan-Peraturan hukumnya merupakan
kumpulan dari pelbagai kaidah hukum yang ada
sebelum masa Justinianus
yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”.
Corpus Juris Civilis ini menjadi
dasar perunusan dan kodifikasi hukum di
negara-negara Eropa daratan, seperti
jerman, Belanda, Perancis dan Italia, juga
Amerika Latin dan Asia termasuk
Indonesia pada masa jajahan Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar system hukum
Eropa kontinental ialah
“Hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
diwujudkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang
dan tersusun secara
sistematik di dalam kodifikasi atau
kompilasi.
Prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai
utama yang merupakan tujuan
hukum adalah “kepastian hukum”.
Sumber hukum di dalam system hukum Eropa
Kontinental adalah “UndangUndang” yang dibentuk oleh Pemegang kekuasaan
Legislatif. Selain itu juga Diktat PHI (Sejarah Hukum) 14
diakui peraturan yang dibuat oleh pemegang
kekuasaan eksekutif berdasarkan
wewenang yang telah ditetapkan oleh
undang-undang (peraturan hukum
administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan
yang hidup dan diterima sebagai
hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika).
Sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian dikenal
dengan sebutan “Anglo
Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad
XI yang sering disebut
sebagai Sistem “Common Law” dan sistem
“Unwritten Law” (tidak tertulis).
Walaupun disebut sebagai unwritten law tetap
tidak sepenuhnya benar, karena
di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya
sumber-sumber hukum yang
tertulis (statutes).
Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo Amerika
ialah “putusan-putusan
hakim/pengadilan” (judicial decisions).
Disamping putusan hakim, maka
kebiasaan-kebiasaan dan peraturan
perundang-undangan tertulis undangundang dan peraturan administrasi negara yang
diakui. Selain itu dalam sistem
Anglo Amerika ada “peranan” yang diberikan kepada
hakim yaitu hakim
mempunyai wewenang yang sangat luas untuk
menafsirkan peraturan hukum
yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip
hukum baru yang akan menjadi
pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan
perkara yang sejenis.
Sistem Anglo Amerika menganut suatu
doktrin yaitu “the doctrine of
precedent/stare decisis” yang pada hakekatnya
menyatakan bahwa dalam
memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus
mendasarkan putusannya
kepada prinsip hukum yang sudah di dalam putusan
hakim lain dari perkara
sejenis sebelumnya (preseden).
Dalam hal tidak ada putusan hakim yang terdahulu
atau ada tetapi tidak sesuai
dengan perkembangan, maka hakim dapat memutuskan
perkara berdasarkan
nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat
(common sense) yang dimiliki. Diktat PHI (Sejarah Hukum) 15
Oleh karena prinsip-prinsip hukum sering terjadi
karena perkara, maka sistem
Anglo Amerika sering disebut Case law.
Sistem hukum Anglo Amerika pengertian hukum
privat ditujukan kepada
kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of
property), hukum tentang orang
(law of persons), hukum perjanjian (law of
contract), dan hukum tentang perbuatan
melawan hukum (law of torts) yang tersebar
dalam Undang-Undang, putusan
hakim dan hukum kebiasaan.
3. Sistem hukum Adat.
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan
kehidupan sosial di
Indonesia dan Negara-negara Asia lainnya,
seperti Cina, India, jepang dan
negara lain.
Sumber hukum adat pada peraturan-peraturan hukum
tidak tertulis yang
tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum
masyarakatnya. Dan hukum adat mempunyai tipe
yang bersifat tradisional
dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang,
serta dapat menyesuaikan
diri dan elastik.
4. Sistem hukum Islam.
Sistem hukum Islam dianut oleh masyarakat Arab
sebagai awal dari timbulnya
dan penyebaran agama Islam.
Sistem hukum Islam bersumber hukum kepada:
a. Quran, yaitu kitab suci dari kaum muslimin
yang diwahyukan oleh Allah
kepada Nabi Rasul Allah Muhammad dengan
perantara Malaikat Jibril.
b. Sunnah nabi yaitu cara hidup dari Nabi
Muhammad atau cerita-cerita
(hadis) mengenai nabi Muhammad.
c. Ijma ialah kesepakatan para ulama besar
tentang suatu hal dalam dalam
cara bekerja (berorganisasi).
d. Qiyas ialah analogi dalam mencari sebanyak
mungkin persamaan antara
dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui
metide ilmu hukum Diktat PHI (Sejarah Hukum) 16
berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau
menarik suatu garis hukum
baru dari garis hukum suatu keadaan karena
persamaan yang ada di
dalamnya.
Sistem Hukum Islam dalam “hukum Fikh” terdiri
dari dua hukum pokok, ialah:
a. Hukum Rohaniah, lazim disebut “ibadat”, yaitu
cara-cara menjalankan
upacara tentang kebaktian terhadap Allah,
seperti sholat, puasa, zakat dan
menjalankan haji. Kelima kegiatan menjalankan
upacara kebaktian kepada
Allah itu lazim disebut “Al-Arkanul Islam
al-hamzah”.
b. Hukum Duniawi, terdiri dari:
1) Muamalat yaitu tata tertib hukum dan
peraturan mengenai hubungan
antar manusia dalam bidang jual-beli, sewa
menyewa, perburuhan,
hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak
kebendaan dan
hubungan ekonomi pada umumnya.
2) Nikah yaitu perkawinan dalam arti membentuk
sebuah keluarga yang
terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya,
hak dan kewajiban, dasardasar perkawinan monogamy dan akibat-akibat hukum
perkawinan.
3) Jinayat yaitu hukum pidana yang meliputi
ancaman hukuman terhadap
hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
C. Pembedaan/Klasifikasi Hukum
Hukum sebagai Ilmu pengetahuan memiliki bidang
hukum yang sangat
luas atau lingkup dan aspek hukum sangatlah luas
oleh karena itu dalam kegiatan
ilmiah diusahakan untuk mengadakan pembedaan
atau klasifikasi hukum. Di
dalam perkembangan ilmu hukum, pembidangan hukum
tergantung sudut yang
mana hukum yang berlaku hendak dipelajari.
Sebagaimana dikatakan oleh
Lemaire, yakni:Diktat PHI (Sejarah Hukum) 17
“Pelbagai dasar pembidangan hukum adalah
mungkin, sekedar dari sudut mana
hukum yang berlaku hendak dipelajari”
Oleh karena itu dalam ilmu hukum pembidangan
hukum dapat terjadi dari
berbagai sudut pandang hukum, yang
sangatlah penting bagi pembahasan tata
hukum adalah pembidangan hukum atas:
- hukum publik dan hukum Privat (perdata)
- Hukum materiel dan hukum formiel
Daftar Pustaka
http://ilhamendra.files.wordpress.com/2009/02/diktat-phi-sejarah.pdf
Daftar Pustaka
http://ilhamendra.files.wordpress.com/2009/02/diktat-phi-sejarah.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar