A.  
Hukum
dalam Arti Tata Hukum 
1.     
Pengertian
Tata Hukum
Jika kita berbicara
hukum, maka hukum dalam bahasa Inggris  “Law”, 
Belanda “Recht”, Jerman “Recht”, Italia
“Dirito”, Perancis “Droit”. Hukum hidup 
dalam pergaulan hidup manusia, seperti kita
lihat cerita Robinson Croese yang 
terdampar di sebuah pulau dimana ia hidup
sendiri dan ia dapat berbuat sesuka 
hatinya tanpa ada yang menghalanginya. Ia tidak
butuh hukum, artinya hukum 
itu baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup.
Dimana fungsinya adalah 
memperoleh ketertiban dalam hubungan antar
manusia. Menjaga jangan 
sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain
untuk melakukan sesuatu yang 
tidak kehendaknya, dan lain-lain. 
Tetapi ada faktor lain
selain tata tertib yang terdapat pada hukum yaitu 
keadilan, suatu sifat khas pada hukum yang tidak
terdapat pada ketentuanketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata
tertib. Jadi hukum itu 
berkenaan dengan kehidupan manusia, ialah
manusia dalam hubungan antar 
manusia untuk mencapai tata tertib didalamnya
berdasarkan keadilan.
Dalam hubungan Hukum dan
Negara, baik hukum maupun negara 
muncul dari kehidupan manusia karena keinginan
bathinnya untuk 
memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal
itu mengingat tujuan negara 
adalah menjaga dan memelihara tata tertib.
Di Negara Indonesia
seperti kita ketahui bahwa tata hukum di 
Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di
Indonesia (Ius Constitutum), 
berlaku disini berarti yang memberikan akibat
hukum pada peristiwa-peristiwa Diktat PHI (Sejarah Hukum) 
dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah
menunjukkan kepada 
pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan
pergaulan hidup masa 
lampau, di Indonesia menunjukkan kepada
pergaulan hidup yang terdapat 
pada Republik Indonesia dan bukan negara lain.
Tata hukum disebut juga 
Hukum Positif atau  Ius Constitutum, sedang
hukum yang dicita-citakan adalah 
Ius constituendum.
2. Sejarah Tata Hukum Indonesia
peraturan
perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia 
sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping
peraturan tersebut juga terdapat 
peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia
Belanda dan bala tentara jepang 
yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu
dalam pembahasan Tata 
Hukum Indonesia tidaklah dapat lepas dari
pembahasan sejarah Perkembngan 
Tata Hukum Indonesia sejak kekuasaan  Vereenigde
Oost Indische Compagnie
(VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan
Penjajahan balatentara 
Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat
sejarah perkembangan Tata Hukum 
Indonesia.
a. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para
pedagang orang Belanda tahun 1602 
maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara
para pedagang yang 
membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan
tujuan untuk 
mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa.
Sebagai kompeni 
dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan
hak-hak istimewa (octrooi) 
seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan,
hak membentuk angkatan 
perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan
perang,  mengadakan 
perdamain dan hak mencetak uang.Diktat PHI
(Sejarah Hukum) 3
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda
memberikan 
wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith
untuk membuat peraturan 
dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus
disesuaikan dengan 
kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang
dikuasainya, 
disamping ia dapat memutuskan perkara perdata
dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui
“plakat”. 
Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun
secara sistimatis dan 
diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia”
(statuta batavia) dan pada 
tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe
Bataviase Statuten” (statuta 
Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku
diseluruh daerah-daerah 
kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan
aturan-aturan hukum 
lainnya sebagai satu sistem hukum  sendiri
dari orang-orang Pribumi dan 
Orang-Orang pendatang dari luar.
b. Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya
kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 
dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada
Tanggal 1 Januari 1800, 
hingga masuk pemerintahan jepang, banyak
peraturan-peraturan 
perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintahan Hindia 
Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman
Hindia belanda 
adalah:
1) Algemene Bepalingen
van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April
1847 termuat dalam Stb 
1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat
beberapa peraturan 
lain yang juga diberlakukan antara lain:
a) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO)
atau peraturan organisasi 
Pengadilan.
b) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-Undang Hukum 
Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)Diktat PHI (Sejarah
Hukum) 4
c) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab
Undang-Undang Hukum 
Dagang (KUHD)
d) Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering
(RV) atau peraturan tentang 
Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di
Hindia Belnda sejak 
tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.
2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada
tanggal 2 September 1854, 
yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa
berlakunya R.R. 
selain tetap memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang ada 
juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau
Kitab Undang-Undang 
Hukum Pidana.
3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau
peraturan ketatanegaraan Indonesia yang 
merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23
Juli 1925 R.R. diubah 
menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No.
415, yang mulai berlaku 
pada tanggal 1 Janiari 1926.
c. Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah
Undang-Undang No.1 tahun 1942 
(Osamu Sirei)  yang menyatakan berlakunya
kembali semua peraturan 
perundang-undangan  Hindia Belanda selama
tidak bertentangan dengan 
kekuasaan Jepang.
3. Politik Hukum
Berlakunya hukum dalam
suatu negara ditentukan oleh Politik hukum 
negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan
hukum masyarakat dalam 
negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan politik hukum 
hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti
Politik Hukum. Arti  Politik
Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk
memberikan wujud 
sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat
pula dilihat pendapat Padmo Diktat PHI (Sejarah Hukum) 5
Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan
dasar yang menentukan 
arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk.
Oleh karena itu
berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum 
memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum
dengan berusaha 
membuat suatu ius constituendum menjadi ius
constitutum atau sebagai penganti ius 
constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat.
Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn
ilmu politik, sebab 
ilmu politik  memiliki pengertian
 menyelidiki sampai seberapa jauh batas 
realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita
sosial dan kemungkinan apa yang 
dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan
yang baik dari cita-cita sosial 
itu.
Politik hukum suatu
negara biasanya dicantumkan dalam UndangUndang Dasarnya tetapi dapat pula
diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. 
Politik Hukum dilaksanakan melalui dua segi,
yaitu dengan bentuk hukum dan 
corak hukum tertentu.
Bentuk hukum itu dapat:
(1) Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang
ditulis dalam suatu UndangUndang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam
bentuk tertulis ada dua 
macam yaitu:
(a) Kodifikasi ialah disusunnya
ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah 
kitab secara sistematik dan teratur. 
(b) Tidak dikodifikasikan ialah sebagai
undang-undang saja.
(2) Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum
yang berlaku sebagai hukum yang 
semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum
kebiasaan.
Corak hukum dapat ditempuh dengan:
(1) Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum
bagi setiap orang dalam 
kesatuan kelompok sosial atau suatu
negara.Diktat PHI (Sejarah Hukum) 6
(2) Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum
bagi dua kelompok sosial 
yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau
suatu negara.
(3) Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam
sistem hukum  bagi 
kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam
kesatuan kelompok 
sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan
arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut 
ini dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia.
Keberadaan Hukum di Indonesia 
sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah
dipengaruhi oleh keberadaan 
sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih
banyaknya undang-undang yang 
dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang
masih berlaku. Selain itu, 
masuknya hukum Islam juga mempengaruhi hukum di
Indonesia, sebagian 
permasalahan-permasalahan perdata masih
menggunakan hukum Islam.
Oleh karen itu, perlu diketahui terlebih dahulu
bagaimana politik
Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami
bagaimana Politik Hukum 
Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia
Belanda dapat dilihat 
berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda
(sebagaimana dijelaskan 
diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan
IS. 
Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (A.B)
Pada masa berlakunya AB  politik hukum
Pemerinthan penjajahan 
Hindia belanda  dapat dilihat dalam
pembagian golongan dan berlakunya 
hukum bagi masing-masing golongan tersebut.
Pemerintahan Hindia Belanda
berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua
golongan, pasal ini menyatakan 
bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam
Golongan Eropa 
(berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan
Pribumi (berserta mereka 
yang dipersamakan dengannya).
Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing
golongan tersebut 
diatur didalam Pasal  9 AB dan Pasal
 11 AB.  Adapun yang diatur didalam Diktat PHI (Sejarah Hukum) 7
kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan
merupakan bunyi pasal 
melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum
perdata dan Kitab 
Undang-Undang Hukum dagang (yang diberlakukan di
hindia belanda) hanya 
akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka
yang dipersamakan 
dengannya”.
Pasal 11 AB
“Menyatakan  bahwa untuk golongan penduduk
pribumi oleh hakim akan 
diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan
kebiasaan orang-orang pribumi 
itu sendiri, sejauh hukum,  pranata dan
kebiasaan itu tidak berlawanan dengan 
asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui
umum dan pula apabila 
terhadap orang-orang pribumi itu sendiri
ditetapkan berlakunya hukum eropa 
atau orang pribumi yang bersangkutan telah
menundukan diri pada hukum 
eropa”.
Berdasarkan ketentuan pasal  tersebut, maka
pemerintah penjajahan 
Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan
bentuk hukum tertulis dan 
tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis
ada yang dikodifikasikan dan 
terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan
Wetboek van Koophandel (WvK); 
yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan 
lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan
yang tidak tertulis, yaitu 
hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang
di luar golongan Eropa. 
Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis,
yaitu satu sistem hukum 
perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan
satu sistem hukum perdata lain 
yang berlaku bagi golongan Indonesia.Diktat PHI
(Sejarah Hukum) 8
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum
perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal
11 
AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal
ini disebabkan tidak adanya asas 
pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan
 pembagian golongan 
berdasarkan pasal 5.  Dalam pasal  5
hanya menyatakan orang Eropa, orang 
Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang
Eropa dan orang yang 
disamakan dengan orang Bumiputra. 
Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya
berdasarkan kepada 
perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen
selain orang Eropa disamakan 
dengan orang Eropa dan yang tidak beragama
Kristen disamakan dengan 
orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa bagi setiap orang yang 
beragama Kristen yang bukan orang Eropa
kedudukan golongannya sama 
dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia
Kristen termasuk orang 
yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini
tentunya berlaku juga bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya
yang beragama Kristen 
disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi
orang-orang  yang tidak 
beragama Kristen selain orang Indonesia
dipersamakan kedudukannya dengan 
orang bumiputra.
Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang
kepada 
GubernurJenderal untuk menetapkan peraturan
pengecualian bagi orang 
Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10,
pasal 3 nya Gubernur Jenderal 
menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam
lapangan hukum sipil dan 
hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan
pidana dan peradilan pada 
umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang
lama”. Dengan demikian 
berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap
termasuk golongan orang 
bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang
Eropa.Diktat PHI (Sejarah Hukum) 9
Masa Regering Reglement (R.R.)
Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur
tentang pelaksanaan 
tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu
dicantumkan dalam pasal 75 RR 
yang pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11
AB. Sedangkan pembagian 
penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja
tidak berdasarkan 
perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan
“yang menjajah” dan “yang 
dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian
golongan ini dicantumkan dalam 
pasal 109  Regerings Reglement. Adapun yang
diatur dalam kedua pasal tersebut 
adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal
melainkan kesimpulan dari 
bunyi pasal tersebut):
Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama dengan Pasal  5 AB
tetapi orang Pribumi yang 
beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi
dan bagi orang Tionghoa, 
Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal  75 RR
“Menyatakan tetap memberlakukan hukum eropa bagi
orang eropa dan 
hukum adat bagi golongan lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan
terhadap beberapa pasal 
tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal
dengar sebutan RR (baru) dan 
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai
1926. Karena itu selama 
berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan
Masa  Regerings Reglement. 
Sedangkan politik hukum dalam pasal 75 RR (baru)
mengalami perubahan asas 
terhadal penentuan penghuni menjadi “pendatang”
dan “yang didatangi”. 
Sedangkan penggolongannya dibagi  menjadi
tiga golongan, yaitu golongan 
Eropa, Indonesia dan Timur Asing.Diktat PHI
(Sejarah Hukum) 10
Masa Indische Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus
berlakunya RR. 
Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa
saat berlakunya IS dapat 
dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada
Pasal 163 IS mengatur pembagian 
golongan, yang pada intinya seluruh isinya
dikutip dari  Pasal 109 RR (baru). 
Sedangakan Pasal 131 IS mengatur hukum yang
berlaku bagi masing-masing 
golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam
 kedua pasal tersebut adalah 
(dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal
melainkan kesimpulan dari bunyi 
pasal tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga
golongan, yakni :
1. Golongan Eropa
2. Golongan Bumi Putera
3. Golongan Timur Asing.
Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :
1. Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di
dalam ordonansi. 
2. Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara
belanda yang tinggal di 
hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka kemungkinan untuk unifikasi
 hukum yakni menghendaki 
penundukan bagi golongan bumiputra dan timur
asing untuk tunduk 
kepada hukum Eropa.
4. Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi
golongan bumi putera 
apabila masyarakat menghendaki demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan
 Pasal 163 IS sebenarnya untuk 
menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi
masing-masing golongan 
sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS. Diktat
PHI (Sejarah Hukum) 11
Diatas telah dijelaskan politik hukum pada masa
penjajahan belanda, 
dibawah ini akan dijelasakan politik hukum
Indonesia setelah merdeka.  Pada 
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka,
setelah Indonesia merdeka 
bagaimanakah  politik Hukum Indonesia.
Untuk mengetahui keberadaan 
politik hukum di Indonesia dapat dianalisa
berdasarkan berlakunya UndangUndang Dasar di Indonesia.
Setelah Indonesia merdekan sebagai bangsa yang
lepas dari penjajahan, 
maka sebagai dasar negara dibentuklah UUD 1945
yang mengatur kehidupan 
bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang
Dasar yang diberlakukan 
sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar
1945 menurut Dekrit 
Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan
politik hukum 
negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi
 ada juga negara yang 
mencantumkan politik hukumnya di luar
Undang-Undang Dasar. Bagi negara 
yang tidak mencantumkan politik hukumnya di
Undang-Undang Dasar 
biasanya mencantumkan di dalam  suatu
bentuk ketentuan lain.
UUD 1945 yang berbatang tubuh 37 pasal tidak
mencantumkan 
tentang politik hukum negara.  Hal ini
berbeda dengan  UUDS 1950 yang 
mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal
102, yang berbunyi:
“Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana
sipil maupun militer, 
hukum acara perdata maupun hukum acara pidana,
susunan dan kekuasaan 
pengadilan diatur dalam undang-undang dalam
kitab hukum. Kecuali jika 
pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur
beberapa hal dalm 
undang-undang sendiri”. 
Berdasarkan  Pasal 102 UUDS 1950 arah
politik hukum yang dikehendaki 
membentuk suatu hukum tertulis yang
dikodifikasi. Tetapi sebagaimana 
diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD
1945, maka politik hukum 
sebagai mana tercantum di dalam Pasal 102
tersebut tidaklah berlaku. Diktat PHI (Sejarah Hukum) 12
Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik
hukum maka didalam 
pelasanaan hukum berlandasakan kepada Pasal II
aturan peralihan UUD 1945. 
Di dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945
diatur bahwa “Segala badan 
Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum 
diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar
ini”. Ketentuan Pasal II 
aturan peralihan ini bukan merupakan politik
Hukum hanya suatu ketentuan 
yang memiliki fungsi  untuk mengisi
kekosongan hukum.  Fungsinya sama 
dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal 192 UUD RIS
yang menyatakan tetap 
berlakunya peraturan perundangan hukum dan tata
usaha yang telah berlaku 
sebelum berlakunya UUD saat itu.
Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan
kekosongan hukum dapat 
diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan hukum
yang berlaku pada jaman 
penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum
adanya hukum yang baru. 
Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut
dengan asas konkordansi.
Tetapi, walaupun masih ada peraturan hukum
Belanda yang berlaku 
setelah menjadi negara merdeka dewasa ini
sebenarnya tidak bertujuan seperti 
penjajah Belanda pada zamannya, melainkan hanya
sebagai alasan “jangan 
sampai terjadi kekosongan hukum” saja, sebab
kekosongan hukum berarti 
tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib
hidup. Hal ini akan sangat 
berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya
aturan hukum Belanda walaupun 
sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dalam pergaulan hukum 
di Indonesia. Karena itu pemerintah terus
berusaha mewujudkan hukum 
nasional sebagai penggantinya yang dinyatakan
secara berencana melalui politik 
hukumnya dalam haluan negara. Suatu perumusan
politik hukum yang 
dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan
dalam Garis-garis Besar 
Haluan Negara (GBHN).Diktat PHI (Sejarah Hukum)
13
B. Sistem Hukum 
Suatu Sistem mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu
terdiri dari komponenkomponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan
dan dalam keutuhan 
organisasi yang teratur  serta
terintergrasi.
Menurut Prof Subekti system adalah suatu susunan
atau tatanan yang 
teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama 
lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola,
hasil dari suatu penulisan untuk
mencapai suatu tujuan.
Dalam suatu system tidak boleh terjadi suatu
pertentangan atau benturan 
antara bagian-bagian dan juga tidak boleh
terjadi duplikasi atau tumpang tindih 
(over lapping).
Sistem dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1. Sistem hukum Eropa Kontinental.
Sistem hukum ini berkembang di negara-negara
Eropa daratan yang sering 
disebut sebagai  “Civil Law”.
 Peraturan-Peraturan hukumnya merupakan 
kumpulan dari pelbagai kaidah hukum yang ada
sebelum masa Justinianus 
yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”.
Corpus Juris Civilis ini menjadi 
dasar perunusan dan kodifikasi hukum di
negara-negara Eropa daratan, seperti 
jerman, Belanda, Perancis dan Italia, juga
Amerika Latin dan Asia termasuk 
Indonesia pada masa jajahan Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar system hukum
Eropa kontinental ialah 
“Hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
diwujudkan dalam peraturan 
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang
dan tersusun secara 
sistematik di dalam kodifikasi atau
kompilasi. 
Prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai
utama yang merupakan tujuan 
hukum adalah “kepastian hukum”. 
Sumber hukum di dalam system hukum Eropa
Kontinental adalah “UndangUndang” yang dibentuk oleh Pemegang kekuasaan
Legislatif. Selain itu juga Diktat PHI (Sejarah Hukum) 14
diakui peraturan yang dibuat oleh pemegang
kekuasaan eksekutif berdasarkan 
wewenang yang telah ditetapkan oleh
undang-undang (peraturan hukum 
administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan
yang hidup dan diterima sebagai 
hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang. 
2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika).
Sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian dikenal
dengan sebutan “Anglo 
Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad
XI yang sering disebut 
sebagai Sistem “Common Law” dan sistem
“Unwritten Law” (tidak tertulis). 
Walaupun disebut sebagai unwritten law tetap
tidak sepenuhnya benar, karena 
di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya
sumber-sumber hukum yang 
tertulis (statutes).
Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo Amerika
ialah “putusan-putusan 
hakim/pengadilan” (judicial decisions).
Disamping putusan hakim, maka 
kebiasaan-kebiasaan dan peraturan
perundang-undangan tertulis undangundang dan peraturan administrasi negara yang
diakui. Selain itu dalam sistem 
Anglo Amerika ada “peranan” yang diberikan kepada
hakim  yaitu hakim 
mempunyai wewenang yang sangat luas untuk
menafsirkan peraturan hukum 
yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip
hukum baru yang akan menjadi 
pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan
perkara yang sejenis.
Sistem Anglo Amerika menganut  suatu
doktrin yaitu “the doctrine of 
precedent/stare decisis” yang pada hakekatnya
menyatakan bahwa dalam 
memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus
mendasarkan putusannya 
kepada prinsip hukum yang sudah di dalam putusan
hakim lain dari perkara 
sejenis sebelumnya (preseden).
Dalam hal tidak ada putusan hakim yang terdahulu
atau ada tetapi tidak sesuai 
dengan perkembangan, maka hakim dapat memutuskan
perkara berdasarkan 
nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat
(common sense) yang dimiliki. Diktat PHI (Sejarah Hukum) 15
Oleh karena prinsip-prinsip hukum sering terjadi
karena perkara, maka sistem 
Anglo Amerika sering disebut Case law.
Sistem hukum Anglo Amerika pengertian hukum
privat ditujukan kepada 
kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of
property), hukum tentang orang 
(law of persons), hukum perjanjian (law of
contract), dan hukum tentang perbuatan 
melawan hukum  (law of torts) yang tersebar
dalam Undang-Undang, putusan 
hakim dan hukum kebiasaan.
3. Sistem hukum Adat.
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan
kehidupan sosial di 
Indonesia dan Negara-negara Asia lainnya,
seperti Cina, India, jepang dan 
negara lain. 
Sumber hukum adat pada peraturan-peraturan hukum
tidak tertulis yang 
tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum 
masyarakatnya. Dan hukum adat mempunyai tipe
yang bersifat tradisional 
dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang,
serta dapat menyesuaikan 
diri dan elastik.
4. Sistem hukum Islam.
Sistem hukum Islam dianut oleh masyarakat Arab
sebagai awal dari timbulnya 
dan penyebaran agama Islam.
Sistem hukum Islam bersumber hukum kepada:
a. Quran, yaitu kitab suci dari kaum muslimin
yang diwahyukan oleh Allah 
kepada Nabi Rasul Allah Muhammad dengan
perantara Malaikat Jibril.
b. Sunnah nabi yaitu cara hidup dari Nabi
Muhammad atau cerita-cerita 
(hadis) mengenai nabi Muhammad.
c. Ijma ialah kesepakatan para ulama besar
tentang suatu hal dalam dalam 
cara bekerja (berorganisasi).
d. Qiyas ialah analogi dalam mencari sebanyak
mungkin persamaan antara 
dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui
metide ilmu hukum Diktat PHI (Sejarah Hukum) 16
berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau
menarik suatu garis hukum 
baru dari garis hukum suatu keadaan karena
persamaan yang ada di 
dalamnya.
Sistem Hukum Islam dalam “hukum Fikh” terdiri
dari dua hukum pokok, ialah:
a. Hukum Rohaniah, lazim disebut “ibadat”, yaitu
cara-cara menjalankan 
upacara tentang kebaktian terhadap Allah,
seperti sholat, puasa, zakat dan 
menjalankan haji. Kelima kegiatan menjalankan
upacara kebaktian kepada 
Allah itu lazim disebut “Al-Arkanul Islam
al-hamzah”.
b. Hukum Duniawi, terdiri dari:
1) Muamalat yaitu tata tertib hukum dan
peraturan mengenai hubungan 
antar manusia dalam bidang jual-beli, sewa
menyewa, perburuhan, 
hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak
kebendaan dan 
hubungan ekonomi pada umumnya.
2) Nikah yaitu perkawinan dalam arti membentuk
sebuah keluarga yang 
terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya,
hak dan kewajiban, dasardasar perkawinan monogamy dan akibat-akibat hukum
perkawinan.
3) Jinayat yaitu hukum pidana yang meliputi
ancaman hukuman terhadap 
hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
C. Pembedaan/Klasifikasi Hukum
Hukum sebagai Ilmu pengetahuan memiliki bidang
hukum  yang  sangat 
luas atau lingkup dan aspek hukum sangatlah luas
oleh karena itu dalam kegiatan 
ilmiah diusahakan untuk mengadakan pembedaan
atau klasifikasi  hukum. Di 
dalam perkembangan ilmu hukum, pembidangan hukum
tergantung sudut yang 
mana hukum yang berlaku hendak dipelajari.
 Sebagaimana dikatakan oleh 
Lemaire, yakni:Diktat PHI (Sejarah Hukum) 17
“Pelbagai dasar pembidangan hukum adalah
mungkin, sekedar dari sudut mana 
hukum yang berlaku hendak dipelajari”
Oleh karena itu dalam ilmu hukum pembidangan
hukum dapat terjadi dari 
berbagai  sudut pandang hukum, yang
sangatlah penting bagi pembahasan tata 
hukum adalah pembidangan hukum atas:
- hukum publik dan hukum Privat (perdata)
- Hukum materiel dan hukum formiel
Daftar Pustaka
http://ilhamendra.files.wordpress.com/2009/02/diktat-phi-sejarah.pdf
Daftar Pustaka
http://ilhamendra.files.wordpress.com/2009/02/diktat-phi-sejarah.pdf


Tidak ada komentar:
Posting Komentar